Bunga pt. 2 | A Story

aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

“Hoi! Jangan melamun di sana,” sebuah suara menyapa telingaku. Secara reflek aku menoleh dan mendapati dirimu berdiri tidak jauh dariku.

“Andra..”

Kekagetanku berubah menjadi sebal saat melihatmu berdiri dan meringis tanpa dosa. “Kau sangat pandai dalam hal mengagetkanku,” ucapku dengan kedua tangan berkacak pinggang.

Kamu berjalan mendekat dengan kekehan senang karena berhasil mengagetkanku. “Sedang apa?” kau bertanya, senyum mengejek tercetak diwajahmu. Tatapanmu beralih ke papan informasi yang beberapa saat lalu kupandangi. “Eh, ada namaku. Wah, betapa perhatiannya, kamu sedang mengamati namaku, ya?” sebuah cengiran lebar muncul. Tebakanmu benar-benar tepat sasaran.

“Yah, aku sangsi kau mau meminjam buku ke perpustakaan. Apalagi buku kumpulan sajak. Tapi aku tidak akan heran kalau kau kena denda,” tukasku sambil menahan tawa.

“Jahatnya..” Kuperhatikan raut wajahmu yang berubah cemberut, menggemaskan sekali. Aku tertawa kecil. “Ah, tapi aku yakin kau akan terkejut kalau aku meminjam buku ini karenamu.”

“Hah?” aku tidak bisa menahan rasa penasaranku.

“Aku benar kan,” katamu. Sebelah tanganmu mengulurkan buku yang kau pinjam. Buku itu tidak terlalu tebal, tipis malah. Sampulnya tidak akan membuatku salah kira. Itu adalah buku yang sama dengan buku kumpulan sajak pertamaku. Buku yang di dalamnya tertulis kata-kata indah yang mampu membawaku terbang ke angan-angan.

Hujan Bulan Juni. Dengan nama bulan yang sama dengan bulan kelahiranku.

“Untuk apa kau pinjam buku itu?” tanyaku heran.

Tapi bukannya menjawab, kamu malah membuka buku itu. Menyibak halaman yang sepertinya sudah kamu tandai sejak lama.

“Kamu, Alice... seperti Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu *”

Aku hanya bisa diam mendengarkan. Caramu membacakan sajak itu menggetarkan suatu tempat dalam diriku. Dan aku hanya bisa diam melihat uluran tanganmu yang lain, menjulurkan setangkai bunga berwarna merah.

Aku terkesiap. Setangkai bunga mawar merah yang kau ulurkan padaku. Pandanganku menatap bergantian antara dirimu dan setangkai bunga itu.

Kamu melempar senyum mempesona padaku. “Selamat bulan kelahiran, Amarilys. Namamu Amarilys, tetapi bunga kelahiranmu adalah mawar. Well, kurasa cocok untukmu,” mengendikkan bahu, kamu menyerahkan bunga itu padaku.

Ketika bunga itu sudah berada dalam genggamanku, aku baru tersadar kalau sejak tadi aku menahan napas. Aku hanya bisa tergugu, kembali memandang dirimu dan bunga itu secara bergantian, tak mampu berkata-kata.

“Maaf, Alice...” matamu menatap lekat mataku. “Maaf karena aku pura-pura tidak tahu. Maaf karena belum berani mengatakannya padamu. Tapi, mulai sekarang, aku ingin..
aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada **”

Seusai kamu membaca sepenggal sajak itu, baru kusadari kamu menghapus jarak di antara kita. Sepasang irismu masih menatapku lekat. Entah ilusi atau kenyataan, aku bisa melihat kesungguhan darimu. Tanganmu bergerak mengusap di bawah mataku, tangkupanmu begitu hangat di wajahku.

“Jangan menangis,” bisikmu. Tapi itu malah membuat air mataku turun semakin deras. Semakin deras hingga isakan kecil keluar dari bibirku.

“A-aku...” susah payah aku mencoba merangkai kata. Tak tahu harus berkata apa. “Dasar. Seperti pujangga zaman dulu saja,” tawaku keluar di sela isakanku. Aku tidak tahu apalagi yang harus kuucapkan.

Kamu menatapku lekat. Melempar pertanyaan tidak langsung, menunggu jawaban. Segera saja aku menerjangmu, memelukmu sebagai ganti jawaban yang kamu nantikan. Dan ketika kamu balik memelukku, gemuruh tepuk tangan dan siulan menggoda mengambang di udara.
___________________________________________________________________________________

* Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, (Gramedia, 2013), Hujan Bulan Juni.
** Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, (Gramedia, 2013), Aku Ingin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Holland : One Fine Day in Leiden | Review